Puji Tuhan, lelaki itu menikmati setiap cuilan yang disendokkan ke dalam mulut. Setiap milliliter yang mengalir di sela dahaga, semua. Semua. Atas nafas ini, diafragma dan rongga hidung ini, denyut berkepanjangan. Lelaki itu masih hidup dan itu lebih dari cukup. Setidaknya enchevalon ini tak usah berpusing sedemikian hingga volumenya menggelembung melampau batas. Memikirkan rumah singgah mana yang harus dituju dan kepada siapa menawarkan jasa dengan imbalan pengisi perut—makanan. Kornet sapi dilumatnya lamat-lamat, kemudian nasi pulen dan abon asap. Diikuti tegukan YOU C 1000 yang lebih netral ketimbang minuman lain.
Di balik tirai masih gerimis, di dalam sini betah meringis. Lelaki itu terkurung dalam petak persegi besuhu 19 derajat, atas nama ritual semu bertajuk April Mop. Hell. Yeah. Terkunci dari luar, dengan sahabat sendiri sebagai tersangka. Brutal, eh? Kata mereka candaan saja. Sekedar
hepi-hepi-no-hard-feeling. Tapi baginya? Ini celurit, bukan lagi bumerang. Satu Quiz gagal dihadiri (lagi) dan indeks prestasi berangka tiga selamat tinggal sudah.
Addios. Hmpf. Jadi, di mana letak jargon :
hepi-hepi-no-hard-feeling itu, hm? Betul. Ia memang tesenyum, cerah. Tak ada semburat cemberut sedikitpun menodai air muka—bahagia melebihi quota, malah.
Well—
hepi-hepi-no-hard-feeling.
Sejujurnya, lelaki itu—
belum buka diktat selembar pun.
Namanya Aitom Fatroni, Pak Dosen. Dan hari ini
April Mop.
No hard feeling