Iya, benar sayang
Kau tak keliru menafsirkan judul
Apa yang kau eja, itu yang kau rasa
dan usahaku meraba.
Ini bukan dusta, karena kelumitmu
masih berbekas—M e n j e j a k
.
.
.
Terpatri kuat-kuat di suatu petak bertajuk nurani
Melafalkan namamu masih menyisakan gundah,
memblokir imajiku tentang kamu cenderung getirkan rasa—
you drive me going crazy
***
Haha, menggelitik. Tadi siang tepatnya baru saja seorang kawan berinisial AL menyapa saya di Facebook. Oke, dia kawan. Sudah lama bermitra sejak masih berseragam putih abu-abu dulu. Pernah juga menjalin kisah rumit dengannya. Hanya sebentar, dan cukup berkesan. Maaf, bisa kita kembali ke topik, sayang? Karena detik ini kita takkan bahas tentang kisah itu. Lain kali, mungkin. Kapan-kapan bila otak ini letih menyusupi labirin yang lalu. Intinya, puisi ini bukan untuk AL.
"Eh kemarin aku liat ***** sama orang lain. Emang udah ga sama dia ya? Duh, maaf kalo kesannya ngadu domba gini. Cuma ga tega aja liat kamu digituin. Sekali lagi maaf banget ya Tim. Anggap aja aku ga pernah nulis gini"
Itu ocehan Al tadi, tentang dia-yang-namanya-tabu-diperbincangkan itu. Iya, kamu (siapapun kau yang merasa pernah menyabotase jiwa raga saya)—puisi ini untuk kamu. Untuk kamu yang pernah menitikkan kelenjar air mata di pelukan saya. Untuk kamu yang pernah tersenyum ketika saya bahagia. Untuk kamu yang pernah gundah di sela problematika hidup saya. Untuk kamu yang kini mutlak menjadi milik orang lain. Saya rindu kita—gilakah bila saya berharap esok kan masih ada? Masih ada kita. Karena hei, Nona manis